Teruntuk, Claudio... Dari Mantanmu, Chelsea


Chocobet - Inggris - Chelsea punya tugas mudah untuk membikin "semua orang di dunia" tersenyum. Kami tinggal bermain imbang dan seketika itu pula menjadikan Senin di awal Mei ini, sebagai Senin yang paling indah buat kalian, simpatisan dan penggemar Leicester City di Inggris juga Thailand.

Soal perebutan gelar juara Liga Primer Inggris, suara suporter tidak banyak terbelah. Mayoritas dari mereka ada di kubu Leicester, karena tidak ada kesebelasan langganan juara di Inggris yang turut meramaikan persaingan juara jelang akhir musim, termasuk kami, Chelsea.

Spurs sudah kepalang menjadi sosok antagonis. Suruh siapa bermarkas di London dan punya banyak rival yang pada akhirnya berubah menjadi kebencian tak tertahankan. Penggemar Arsenal pasti mendukung Leicester, karena tidak merayakan St. Totteringham's Day musim ini saja sudah menyakitkan apalagi menonton Spurs berpawai ria di depan mata; di London kota kita tercinta.

Siapa yang tidak meng-goblok-goblok-i kami saat kami kebobolan dua gol di babak pertama? Siapa yang kecewa karena kami kelewat lemah dalam menggalang pertahanan sehingga Harry Kane dan Son Heung-Min bisa membobol gawang Asmir Begovic?

Namun, siapa yang tak berselera menyaksikan pertandingan dengan tensi tinggi; menyaksikan Diego Costa menabur provokasi. Untuk pertama kalinya saya mendengar orang meng-ayo-ayo-kan Costa untuk bermain lebih beringas.

Sembilan kartu kuning yang diterima Spurs? Itu tentu bukannya tanpa tujuan. Kalaupun Si Bangau yang menang di Stamford Bridge --tidak mungkin sih, kami sudah menjaga kesucian ini selama 10 tahun-- setidaknya mereka akan kesusahan dalam dua pertandingan terakhir. Rasakan!

Sejatinya ada sejumlah hal yang membuat kami begitu bersemangat menghadapi Spurs. Selain karena merupakan Derby London --halo, bung! London punya banyak kesebelasan; tidak mudah menjadi penguasa di sini-- Kami pun tengah dalam fokus perbaikan performa. Cesc Fabregas dan kolega tidak bermain bagus di awal musim seperti yang kami tunjukkan pada musim lalu. Selain itu, penampilan sejumlah pemain seperti Eden Hazard dan Oscar masih jauh dari yang diharapkan. Tapi, ayolah... dengan bermain sejelek itu, Hazard masih diincar Real Madrid, kok.

Jelang pertandingan semalam, Hazard sudah menyatakan kesiapannya untuk menghadapi Spurs. Hazard malah sudah mengeluarkan pernyataan kalau klub, penggemar, dan para pemain Chelsea tak ingin Spurs juara; tahu benar pemain Belgia itu. Tentu hal ini mempunyai dampak di mana mencegah Spurs menjadi juara berarti membiarkan Leicester yang meraihnya. Tak apalah biar kami seperti pendukung aliansi politik di Jakarta: asal bukan Spurs.

Tentu kami punya ikatan batin dengan Leicester yang tak lain adalah kamu sendiri, Claudio... Claudio Ranieri.

Nama Jose Mourinho memang diagung-agungkan karena untuk pertama kalinya dalam 50 tahun terakhir, berhasil membawa trofi Premier League ke Stamford Bridge. Capaiannya kian fantastis karena ia melakukannya hanya dalam waktu satu musim. Kamu, Claudio, pun terlupakan, meski banyak yang mengingatmu sebagai pembuat fondasi skuat Chelsea yang kemudian menjadi juara.

Banyak yang bilang kalau tanpa kehadiran Roman Abramovich dan Mourinho tentunya, kami bisa saja jadi juara dengan cara yang hampir mirip dengan Leicester: meraih simpati khalayak. Di saat Manchester United dan Arsenal bermain bola-bola pendek dari kaki ke kaki, kami mendobrak papan atas Premier League dengan gaya main a la "kesebelasan Inggris kebanyakan": bola-bola panjang langsung ke kotak penalti.

Skema ini terlihat membosankan tapi menyenangkan karena pertukaran serangan terjadi begitu cepat. Hampir tidak ada waktu buat penonton untuk ketiduran di stadion.

Permainan seperti itu tidak ditunjukkan oleh "kesebelasan papan atas". Cuma kesebelasan semenjana yang main bola-bola panjang, katanya.
Dengan gaya bermain seperti itu, kami berhasil menerobos ke peringkat kedua di atas Manchester United dan Liverpool. Namun, Chelsea kesulitan meraih gelar karena Arsenal tengah dalam performa yang superior di mana mereka tak terkalahkan dalam satu musim.

Begini hitung-hitungannya. Pada akhir musim 2003/2004, Chelsea meraih 79 poin; bandingkan dengan Leicester yang kini juara dengan 77 poin dan bisa meraih maksimal 83 poin. Artinya, musim tersebut bukanlah musim yang buruk buatmu, tapi karena Arsenal memang tengah dalam puncak performa, sehingga The Gunners-lah yang pantas juara. Kami bisa mengerti.

Namun, hasil tersebut tak membuat Abramovich goyah untuk menghadirkan Mourinho yang baru saja juara Liga Champions bersama FC Porto. Digantikannya dirimu menghadirkan sedikit rasa sesal di dada penggemar. Meskipun, ya, kami setuju-setuju saja, apalagi Mourinho hadir untuk memuaskan dahaga prestasi kami. Namun, Chelsea mestinya bisa jadi juara melalui proses yang normal, bukan dipaksakan lewat pembelian sejumlah pemain hebat.

Kamu pun berkelana ke sana kemari, mulai dari Valencia, Parma, sampai Yunani. Namun, tak satupun gelar yang menghampiri. Di sisi lain, banyak yang bilang kalau kamu, Claudio, adalah pelatih spesialis pembangun fondasi. Setelah kamu pergi, kesebelasan tempatmu mengabdi justru meraih prestasi.

Selepas pergi dari Chelsea, kamu "hanya" mempersembahkan dua gelar: satu gelar UEFA Super Cup untuk Valencia pada 2004 serta juara Ligue 2 bersama AS Monaco pada 2012/2013. Siapa yang tidak sedih, saat sang pelatih pembangun fondasi justru tak ada gelar utama yang ia raih?

Kamu pun pindah ke Leicester City dan bergabung bersama Mark Schwarzer, Robert Huth serta Andy King, yang pernah menginjakkan kaki di Chelsea.

Penampilan tim milikmu kami akui luar biasa. Kami pernah kalah di King Power Stadium, Desember tahun lalu; di mana kami tak bisa membendung agresivitas Mahrez dan Vardy. Pertandingan itu semestinya emosional bagimu, tapi kamu tak menunjukkannya. Kamu tahu apa yang terjadi di London setelah kami pulang? Kemenangan itu seolah membalaskan dendammu lebih dari satu dekade silam: kamu mengirim Mourinho pulang.

Kini, di Stadion Stamford Bridge kami telah tampil habis-habisan. Kamu mungkin merasa biasa, tapi poster yang dibawa penggemar menghasilkan energi: "Lakukan ini untuk Ranieri".

Kami memang tertinggal 0-2, tapi semangat itu memaksa kami untuk menyamakan skor. Tentu, Hazard membuktikan ucapannya. Dia yang mencetak gol penentu.

Hasil seri 2-2 ini mengantarkanmu meraih gelar juara pertama di Inggris, oh, bahkan ini adalah pertama kalinya dalam kariermu menjuarai gelar liga utama sebuah negara.

Kamu tak perlu berterima kasih kepada kami, atau MU yang memaksakan hasil imbang 1-1 pekan lalu. Kamu pula tak perlu berterima kasih kepada para simpatisan yang mendukung dari yang dekat sampai yang di dunia paling ujung. Saran kami, berterima kasihlah pada Nigel Pearson, karena ia adalah representasi kamu 13 tahun lalu; si Pria Pembangun Fondasi.

Selamat berpesta, Leicester. Selamat atas kesuksesanmu, Claudio. Jangan konvoi kelewat malam, ya. Awas ada razia SIM dan STNK!

Turut berbahagia. Dari Mantanmu, Chelsea.

0 comments: